Sabtu, 27 Maret 2010

PDF MODUL TOT INKLUSI

Bagi yang membutuhkan materi TOT inklusi silakan mendonload dari link-link di bawah ini:
BAB I TOT INKLUSI
BAB II TOT INKLUSI
BAB III TOT INKLUSI
BAB IV TOT INKLUSI

Selasa, 16 Maret 2010

TAKTIK MENGHADAPI LIBERALISASI PENDIDIKAN TINGGI

OLEH : DRS. TAWIL, M.Pd



Intisari
Liberalisasi pendidikan utamanya pendidikan tinggi yang dimotori General Agreement on Trade in Service (GATS) WTO tidak dapat dihindarkan lagi, sebab telah disepakati perdagangan bebas dunia untuk 12 sektor jasa termasuk di dalamnya adalah pendidikan tinggi. Disamping Indonesia sebagai anggota WTO, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tuntutan pendidikan tinggi bermutu, dan ikut terlibat dalam perdagangan dunia merupakan keharusan saat ini. Satu hal yang harus diwaspadai adalah bahwa globalisasi liberalisasi bisa berkecenderungan eksploitasi dan ekspansi negara-negara maju terhadap negara berkembang, termasuk dalam pendidikan utamanya pendidikan tinggi. Hal ini perlu diantisipasi dan dicarikan taktik menghadapinya, agar supaya Indonesia tetap dapat memanfaatkan arus globalisasi, namun tidak kehilangan jati diri bangsa dan mengemban amanat UUD 1945. Taktik tersebut diantaranya adalah perlu peninjauan kembali GATS WTO, komitmen peningkatan mutu pendidikan tinggi, dan peningkatan partisipasi masyarakat.

Kata kunci : Liberalisasi Pendidikan Tinggi

A. Pendahuluan
Nuansa dan aroma liberalisasi dan komersialisasi pendidikan utamanya pendidikan tinggi pasca General Agreement on Trade in Services (GATS) negara-negara anggota WTO (World Trade Organisation) sejak Mei 2005 nampaknya semakin jelas dan sulit dibendung sebab telah disepakati perdagangan bebas dunia untuk 12 sektor jasa, meliputi layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, komputasi, pelatihan, pendidikan tinggi, pendidikan sepanjang hayat, konstruksi, lingkungan, finansial, olahraga, pariwisata, akuntansi, transportasi. Pada tipologi ekonomi, bahwa kegiatan usaha dalam masyarakat dibagi menjadi dalam tiga sektor, yakni sektor primer, sekunder, dan tertier. Sektor primer meliputi semua industri ekstraksi hasil pertambangan dan pertanian; Sektor sekunder meliputi industri untuk mengolah bahan dasar menjadi barang, bangunan, produk manufaktur, dan utilities; Sektor tertier meliputi industri untuk mengubah wujud benda fisik atau physical services, keadaan manusia atau human services, dan benda simbolik atau information and communication services. Sejalan dengan hal itu, WTO menetapkan bahwa pendidikan termasuk sektor tertier, sebab kegiatan pokoknya adalah menstransformasi orang yang tidak berpengetahuan dan orang tidak punya ketrampilan menjadi orang berpengetahuan dan orang yang berketrampilan.
Sejak tahun 1980 an di negara-negara maju, sektor tersier utamanya perdagangan jasa tumbuh pesat dan telah memberikan sumbangan yang besar pada produk domestik bruto (PDB), lebih besar dibandingkan dengan sektor primer dan sekunder. Tiga negara yang paling mendapatkan keuntungan besar dari liberalisasi jasa pendidikan adalah Amerika Serikat, Inggris, dan Australia (Enders dan Fulton, Eds., 2002: 104-105). Diperkirakan pada 1994 sektor jasa telah menyumbangkan sekitar 70 % PDB Australia, menyerap 80 % tenaga kerja, dan merupakan 20 % dari ekspor total negara Kangguru tsb. Pada tahun 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai 14 milyar dolar USA atau sekitar Rp 126 trilyun. Di Inggris sumbangan pendapatan dari ekspor jasa pendidikan mencapai sekitar 4 % dari penerimaan sektor jasa negara tersebut. Industri jasa yang paling menonjol orientasi ekspornya akhir-akhir ini adalah jasa komputasi, pendidikan dan latihan. Fakta itulah yang menyebabkan negara-negara maju getol menuntut liberalisasi sektor jasa pendidikan melalui WTO.
Sejak 1995 Indonesia menjadi anggota WTO dengan diratifikasinya semua perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral menjadi UU no. 7/1994. Perjanjian tsb. mengatur tata perdagangan barang, jasa, dan trade related intellectual property rights (TRIPS) atau hak atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan. Dalam bidang jasa, yang masuk sebagai objek pengaturan WTO adalah semua jasa kecuali jasa non komersial atau tidak bersaing dengan penyediaan jasa lainnya. Indonesia dengan penduduk lebih dari 210 juta jiwa, dengan tingkat partisipasi pendidikan tinggi sekitar 14 % dari usia 19-24 tahun, sementara itu perhatian pemerintah Indonesia terhadap bidang pendidikan masih rendah, mutu pendidikan juga rendah, maka Indonesia menjadi incaran negara-negara eksportir jasa pendidikan dan pelatihan. Agar kiprah GATS di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia maka intervensi pemerintah dalam sektor jasa harus dihilangkan.
Enam negara yang telah meminta Indonesia untuk membuka sektor jasa pendidikan adalah Australia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, Korea dan Selandia Baru. Sub sektor jasa yang ingin dimasuki adalah pendidikan tinggi, pendidikan sepanjang hayat, dan pendidikan profesi, dan vokasi. Nah yang perlu diwaspadai adalah motif apa negara-negara tersebut mengincar, motif profit atau humanitarian.
Sikap waspada terhadap lembaga internasional seperti WTO dengan GATS nya untuk mengatur tata perdagangan pendidikan dan pelatihan di negara berkembang termasuk Indonesia memang perlu ditumbuhkan dan didukung dengan semangat nasionalisme yang tinggi, sebab pendidikan memiliki tiga tugas utama yakni mempreservasi, menstransfer dan mengembangkan iptek seni dan budaya. Pendidikan juga sangat vital peranannya dalam menstransfer nilai-nilai dan jati diri bangsa (van Glinken: 2004).
Oleh sebab itu kita perlu tahu apa dan sejauh mana pengaruh perdagangan bebas atau liberalisasi terhadap pendidikan tinggi, dan taktik untuk menghadapinya.

B. Buah Internasionalisasi dan Globaslisasi
Antara internasionalisasi dengan globalisasi laksana kembar siam yang hampir sama pisiknya, tetapi berbeda watak dan sifatnya. Yang satu berkepribadian baik, santun; Dan yang lain brutal, jahat, dan tamak. Internasionalisasi berkepribadian baik, dan globalisasi berkecenderungan jahat. Yang keduanya sulit dihindarkan dalam tata kehidupan manusia
Iptek seni budaya tidak dapat dipisahkan dari proses internasionalisasi, dan bahkan mungkin merupakan buah dari internasionalisasi. Ya karena memang secara kodrati itulah yang harus terjadi, dimana manusia harus saling berinteraksi satu sama lain, negara satu dengan yang lain untuk saling berhubungan, saling memahami, saling bantu, saling belajar, give and take; Tetapi dalam proses internasionalisasi sering dibarengi globalisasi, sehingga kadang proses internasionalisasi tampak berbau akal-akalan, eksploitasi, ekspansi, penipuan, dan tetapi bisa kecanduan. Sebagai contoh globalisasi ekonomi, globalisasi budaya, globalisasi komunikasi, dsb.
Pendidikan dan khususnya pendidikan tinggi telah lama berkenalan dan larut dalam internasionalisasi, sebab memang banyak mendatangkan manfaat pengembangan iptek seni budaya, dan jarang yang mau memisahkan diri dari internasionalisasi. Dalam Pembukaan UUD 1945 pun diamanatkan “ … ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasrkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial … “ (Pembukaan UUD 1945 alinea ke 4).
Globalisasi menurut Stiglitz (2003), merupakan interdependensi yang tidak simetris antar negara, lembaga, dan aktornya. Karena itu interdependensi secamam itu lebih menguntungkan bagi negara-negara yang memiliki keunggulan ekonomi, dan teknologi. Padahal rancangan dan niat awal globalisasi bagi negara berkembang adalah untuk membuka peluang agar dapat berinternasionalisasi, berhubungan dengan negara lain melalui perdagangan untuk meningkatkan kesejahteraan negara dan bangsanya, tetapi dalam praktiknya sering berbuah pahit; Terjadi eksploitasi besar-besaran, rusaknya tata kehidupan, degradasi moral, melemahnya tanggung jawab pemerintah, penindasan, dll.
Pertanyaan untuk pendidikan tinggi terkait dengan globalisasi utamanya oleh fondamentalisme pasar yang harus dijawab adalah (1) peran apa yang harus dimainkan oleh pendidikan tinggi ketika ekspansi globalisasi kapitalisme neo-liberal telah menjadi kenyataan; (2) benarkah globalisasi kapitalisme menjanjikan peluang lebih baik bagi pendidikan tinggi dan bangsa Indonesia yakni meningkatkan mutu pendidikan dan mensejahterakan bangsa sebagaimana dikampanyekan dan dijanjikan oleh para ahli ekonomi Indonesia.
Sering kita tidak sadar bahwa lahirnya ekspansi globalisasi yang dilahirkan dari neo-liberalisme, adalah bersumber dari ideologi leberalisme yang membela kebebasan pasar, dan memaksa peran negara dan pemerintah semakin melemah. Tiga pilar lembaga yang menopang globalisasi adalah IMF, World Bank, dan WTO adalah lahir dari Washington Consensus (Rais: 2008, 15), dan menelorkan 10 rekomendasi buat negara-negara berkembang yang dilanda krisis ekonomi. Sepuluh rekomendasi tersebut adalah : (1) perdagangan bebas, (2) libralisasi pasar modal, (3) nilai tukar mengambang, (4) angka bunga ditentukan pasar, (5) deregulasi pasar, (6), transfer aset dari sektor publik ke sektor swasta, (7) fokus ketat dalam pengeluaran publik pada berbagai target pembangunan sosial, (8) anggaran berimbang, (9) reformasi pajak, dan (10) perlindungan atas hak milik dan hak cipta..Dengan ekspansi globalisasi ini segala sesuatu yang berharga dicaplok oleh neo-liberalisasi ekonomi global, termasuk air, bahan bangunan, kesehatan, karya seni, ilmu pengetahuan, apalagi teknologi. Akhirnya negara-negara berkembang yang terkena krisis semakin sekarat, sementara industri pertanian tak berdaya dikarenakan tidak mampu bersaing dengan pertanian negara-negara maju yang memperoleh proteksi dari pemerintah mereka.
C. Pengaruh Perdagangan Bebas Terhadap Pendidikan Tinggi
Globalisasi liberalisme dalam praktik berwatak fondamentalisme pasar yang berdampak besar pada lembaga dan kebijakan pendidikan tinggi baik yang menguntungkan maupun yang merugikan. Salah satu keuntungannya adalah kesempatan untuk menjalin pasar kerja global ke negara maju yang telah mampu mengembangkan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan atau knowledge based economy, namun banyak pula kerugian yang harus diderita diantarnya adalah mahalnya beaya pendidikan, rontoknya nilai-nilai yang harus diperjuangkan dalam tujuan negara dan tujuan pendidikan, sebab neo-liberalisme memilki motif for profit. Kini komersialisasi pendidikan telah terasa, mereka yang kurang mampu ekonomi, maka akan sulit mendapatkan pendidikan tinggi, sehingga tujuan negara mencerdaskan kehidupan bangsa semakin menjauh dari harapan. Yang berarti prinsip pengelolaan pendidikan formal sebagaimana Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, dan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan dihianati (UU no 9/2009, bab II, pasal 4 ayat 2 butir f, jo UU no 20/2003 bab III, pasal 4 ayat 1).
WTO telah mengidentifikasi 4 mode penyediaan jasa pendidikan tinggi sbb : mode 1 yang disebut cross-border supply, adalah lembaga pendidikan tinggi negara-negara maju menawarkan kuliah-kuliah nya melalui internet dan on-line degree program untuk diikuti warga di negara-negara yang memerlukan termasuk Indonesia, yang hal ini berarti keuntungan bagi negara maju diantaranya jasa IT, blogger dll; mode 2 yang disebut consumption abroad, adalah bentuk penyediaan jasa pendidikan tinggi yang paling dominan, yakni mahasiswa datang untuk belajarpada perguruan tinggi di negara maju, sudah barang tentu dikenakan bea pendidikan lebih mahal dibanding mahasiswa negara setempat, yang berarti keuntungan bagi negara maju; mode 3 yang disebut commercial presence, adalah kehadiran perguruan tinggi negara maju dengan membentuk partnership, subsidiary, twinnuing arrangement, dengan perguruan tinggi lokal, hal ini keuntungan bagi negara maju yakni bea pendidikan; dan mode 4 yang disebut presence of natural persons, adalah dosen dari negara maju datang mengajar pada lembaga pendidikan tinggi negara yang memerlukan, tentu bayaran yang diberikannya jauh lebih mahal dibanding dosen setempat. Selama ini promosi dan propaganda yang dilakukan WTO adalah mendorong agar pemerintah negera-negara anggota untuk tidak menghambat empat mode penyediaan jasa tersebut dengan kebijakan-kebijakan intervensionis. Dari mana dana itu diperoleh, karena dana domestik sangat kurang maka menggunakan dana pinjaman dari World Bank, dan WTO, dulu pernah IMF. Hal inipun negara negara berkembang termasuk Indonesia tunduk, karena memang keterbatasan dana domestik, keinginan untuk mengikuti perkembangan global, dan tuntutan meningkatnya mutu pendidikan.
Jika dibandingkan dengan negara-negara ASAIHL (Association of Southeast Asia Institute of Higher Learning, seperti Malaysia, Muangthai, Filipina, dan Singapore, bahwa tingkat partisipasi pendidikan tinggi Indonesia sangat rendah, yakni pada tahun 2004 hanya 14 %, sementara Malaysia mencapai 40 %. Untuk mengejar atau meningkatkan tingkat partisipasi ini kandas, disebabkan sumber dana domestik pemerintah dan masyarakat sangat rendah, itulah sebabnya Indonesia tidak bisa menghindar ekspansi dari luar negeri, kalau memang ingin meningkatkan mutu akademik pendidikan tinggi. Akhirnya perdagangan bebas pendidikan tinggi tanpa batas atau borderless higher education market merajalela.
Tiga faktor yang mendorong borderless higher education market adalah (1) keterbatasan dana domestik, (2) meningkatnya permintaan akan pendidikan tinggi bermutu, dan (3) tuntutan kemajuan teknologi informasi. Akhirnya perguruan tinggi negara-negara maju seperti Australia, Amerika Serikat dan Inggris dengan dilandasi pertimbangan for-profit menerima sebanyak-banyaknya mahasiswa luar negeri dengan membayar tinggi secara penuh, mendirikan kampus cabang di negara lain, kesepakatan twinning dengan perguruan tinggi lokal, menyediakan pendidikan jarak jauh secara e-learning, atau menghadirkan dosen ke negara berkembang yang memerlukan dengan bayaran yang tinggi
D. Taktik Manghadapi Liberalisasi Pendidikan Tinggi
Nampaknya globalisasi liberalisasi pendidikan utamanya pendidikan tinggi sulit dihindari, dikarenakan kuatnya GATS-WTO, rendahnya kemampuan dalam negeri, tuntutan pendidikan bermutu, dan tuntutan penggunaan iptek yang berkembang didunia; Barang kali yang diperlukan adalah bagaimana taktik menghadapinya, agar kita tetap mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya, tetapi tidak mengorbankan jati diri, budaya dan nilai-nilai luhur lainnya.
Berikut ini tawaran taktik menghadapi liberalisasi pendidikan tinggi (1) Keberanian pemerintah untuk meninjau kembali isi GATS-WTO, dan kemauan untuk prioritas pendidikan tinggi tanpa memasukkan ke dalam perdagangan bebas; (2) Keberanian lembaga pendidikan tinggi, rektor, forum rektor, wali amanah, yayasan untuk menyikapi GATS-WTO secara arif, (3) Meningkatkan peran serta masyarakat untuk peduli pendidikan utamanya pendidikan tinggi agar terwujud pendidikan yang bermutu, (4) Meningkatkan pendekatan manajemen mutu terpadu atau total quality management (TQM) pada lembaga pendidikan, meningkatkan program akreditasi nasional, regional, dan internasional pada lembaga pendidikan tinggi di Indonesia.
E. Kesimpulan
Pendidikan utamanya pendidikan tinggi merupakan bidang strategis guna meningkatkan mutu iptek seni budaya, mutu bangsa dan negara, untuk dapat mewujudkan cita-cita dan tujuan negara Indonesia, kini semakin terancam dengan General Agreement on Trade Service (GATS)-WTO dengan globalisasi liberalisasi perdagangan bebas, dimana. Indonesia sebagai salah satu anggotanya berada dalam persimpangan yang serba sulit. Artinya disatu sisi ingin meningkatkan angka partisipasi kasar (APK), memajukan mutu pendidikan dan ikut berperan dalam perdagangan bebas, disisi lain tak mampu berbuat banyak kecuali harus ikut dalam WTO (World Trade Organization) yang disebabkan keterbatasan dana domestik, sementara di dalam WTO terikat GATS yang bagaikan menelan pil pahit. Artinya jika tidak ikut sulit maju, sebaliknya jika ikut harus menanggung resiko yakni semakin tereksploitasi oleh negara-negara maju.
Keberanian pemerintah untuk meninjau kembali GATS, menelorkan peraturan perundangan baru, meningkatkan mutu pendidikan tinggi dengan manajemen mutu terpadu dan akreditasinya, serta meningkatkan peran serta masyarakat, merupakan langkah yang harus segera diambil sebagai taktik menghadapi liberalisasi pendidikan tinggi, jika tidak maka nilai-nilai luhur dan jati diri bangsa bisa tergadaikan.


DAFTAR PUSTAKA

Rais, Mohammad Amien, 2008. Agenda Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia, Yogyakarta: PPSK Press

Enders, Jurgen dan Oliver Fulton, Eds., 2002. Higers Education in a Globalizing World. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.

Stiglitz, Joseph E. 2003. Globalization and Its Discontents, New York: W.W. Norton & Co

Undang -Undang Dasar 1945.

UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

UU no. 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.

Van Glinken, Hans, 2004. Globalization, Higher Education and Sustainable Development, Paper at First Asean-European Union Rectors’Conference Organized by Ministry of Higher Education of Malaysia, University of Malaysia, Delegation of the European Commission in Malaysia, and Asean-European Union Network Programme. Kuala Lumpur, October 4-6, 2004.



BIODATA PENULIS

Drs. Tawil, M.Pd, lahir di Sragen 08 Januari 1957. Lulus S1 Pendidikan Luar Biasa UNS 1980, Lulus S2 Manajemen Pendidikan UNY 2006, dan kini studi S3 Manajemen Pendidikan UNNES. Menjadi dosen Kopertis Wilayah VI Jawa Tengah dpk pada Universitas Muhammadiyah Magelang sejak 1981 hingga sekarang.

SEKOLAH GRATIS

OLEH : TAWIL DRS, M.Pd



INTISARI
Iklan sekolah gratis gencar dipromosikan oleh Mendiknas Bambang Sudibya, ternyata terbatas untuk memenuhi wajar dikdas 9 tahun yakni terbatas SD dan SMP Negeri kecuali SBI/RSBI. Mengapa gratis, apa yang di grattiskan, dan kemudian siapa yang harus menanggung biaya pendidikan. Sekolah gratis yakni tanpa memungut biaya satuan pendidikan dan biaya penyelenggaraan dan /atau pengelolaan pendidikan. Namun biaya pribadi peserta didik harus tetap ditanggung peserta didik. Gerakan sekolah gratis merupakan salah satu pembaharuan bidang penidikan dasar, yang manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat utamanya masyarakat ekonomi lemah.

Kata kunci : Sekolah Gratis


A. PENDAHULUAN
Makalah berjudul Sekolah Gratis dipilih sebagai salah satu judul dalam bukti inovasi kependidikan pada jenjang pendidikan dasar, yang menekankan pada aspek pembiayaan. Dalam makalah ini akan ditinjau karakteristik inovasi dari tingkat kebermanfaatannya, komtabilitas, kompleksitas, triabilitas, dan observabilitasnya. Disamping itu juga akan diketengahkan bagaimana proses difusi inovasi dalam pendidikan dasar, siapa yang berperan sebagai pemimpin opini atau opinion leader, dan sejauhmana peran opinion leader dalam proses difusi dimaksud, serta bagaimana kecepatan adopsi sistem sosial pendidikan terkait dengan inovasi dimaksud

B APA DAN MENGAPA SEKOLAH GRATIS
1. Istilah Sekolah Gratis
Istilah Sekolah Gratis muncul pada tahun 2008 dengan PP nomer 48/2008 tentang Pendanaan pendidikan, yang intinya bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya program wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Iklan Sekolah Gratis ada dimana-mana; Di televisi, koran, majalah, spanduk, dan lain-lain; Bahkan secara langsung Mendiknas Bambang Sudibya beriklan ”Sekolah Gratis”. Kata gratis disini bermakna tanpa dipungut biaya. Apakah yang dimaksud gratis berlaku untuk semua sekolah, ataukah hanya SD dan SMP Negeri saja. Ya ternyata hanya SD dan SMP Negeri kecuali SBI /RSBI
2. Mengapa Sekolah Harus Gratis?
Hal ini terkait dengan beberapa peraturan perundangan, tuntutan dan kepentingan, diantaranya
a. Amanat UUD 1945, bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. (UUD 1945 pasal 31, ayat 2: perubahan ke empat),
b. Amanat UU nomer 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. (UU no. 20/2003, pasal 34, ayat 2).
c. PP no 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan, bahwa Pemerintah dan Pemerinah Daerah menjamin terselenggaranya program wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Biaya pendidikan meliputi (1) biaya satuan pendidikan, (2) biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan, dan (3) biaya pribadi peserta didik. Adapun biaya satuan pendidikan sebagaimana pada ayat 1 biaya satuian pendidikan terdiri atas (a) biaya investasi, yang terdiri atas biaya investasi lahan pendidikan dan biaya investasi selain lahan pendidikan, (b) biaya operasi, yang terdiri atas biaya personalia, dan biaya non personalia, (c) bantuan biaya pendidikan, dan (d) beasiswa. Sedangkan biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan sebagaimna dimaksud meliputi (a) biaya investasi yang terdiri atas biaya investasi lahan pendidikan, dan biaya investasi selain lahan pendidikan, (b) biaya operasi yang terdiri atas biaya personalia dan biaya non personalia
(PP no 48/2008 pasal 3)
d. Inpres no. 5/2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun dan Pemberantasan Buta Aksara , bahwa pembiayaan dibebankan pada APBD dan sumber lain yang tidak mengikat.
e. Deklarasi Dakar tentang MDGs (Millenium Development Goals), menargetkan selambat-lambatnya pada 2015 seluruh negara anggota PBB telah menuntaskan wajib belajar pendidikan dasar.

C. BIAYA SEKOLAH GRATIS TANGGUNG JAWAB SIAPA
1. Biaya Pendidikan Sekolah Tetap Ada
Guna keberlangsungan kegiatan pendidikan, lembaga pendidikan formal atau sekolah memerlukan biaya. Secara garis besar biaya pendidikan meliputi tiga kategori, yakni (1) biaya satuan pendidikan, (2) biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan, dan (3) biaya pribadi peserta didik. (PP no 48/2008 pasal 3). Nah sekolah gratis bermakna tidak memungut biaya. Yang menjadi persoalan apakah seluruh biaya digratiskan, ternyata yang digratiskan adalah biaya satuan pendidikan, dan biaya penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan biaya pribadi harus ditanggung sendiri oleh siswa.
2. Tanggung Jawab Siapakah Biaya Pendidikan tsb.
Mentri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan bahwa Sekjolah Gratis adalah versi pemerintah. Artinya pemerintah tidak memungut biaya satuan pendidikan dan biaya penyelenggaraan pendidikan. Sebab kalau semua gratis, pemerintah harus menanggung uang saku, beli sepatu, uang jajan siswa. (Suara Merdeka: 25 Mei 2009). Dari sana dapat dimengerti bahwa istilah gratis bukan berarti bebas segalanya, namun orang tua harus masih menanggung biaya. Dengan kata lain bahwa yang menanggung biaya pendidikan dasar SD SMP adalah:
a. Biaya pribadi harus ditanggung peserta didik atau orang tua murid atau wali murid.
b. Biaya satuan pendidikan, dan biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat; Dengan kewajiban bagi pemerintah dan pemerintah daerah untuk menganggarkan pada APBN/APBD 20% untuk biaya pendidikan.
Padahal seharusnya sesuai bunyi UU no.20/2003 Pemerintah dan Pemerintah wajib menanggung biaya wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun SD SMP tanpa perkecualian baik negeri maupun swasta, baik biaya satuan, biaya penyelenggaraan, dan biaya pribadi. Artinya siapapun yang menjadi pejabat pemerintah dan pemerintah daerah, siapapun pemerintahnya perlu memiliki kemauan politik, memiliki spirit untuk benar-benar membebaskan pendidikan dasar 9 tahun, dan akan lebih baik jika dapat membebaskan pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.
Lalu dari mana sumber biaya wajar dikdas 9 tahun, sesuai PP no 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan bahwa biaya pendidikan dapat berasal dari (1) pemerintah, (2) pemerintah daerah, baik provinsi maupun kota/ kabupaten, (3) swasta dan dunia usaha dunia industri, (4) orang tua yang mau dan mampu tanpa ikatan apapun, (5) badan amal shadakah, dan (6) pendapatan lain yang syah.
3. Bagaimana jika ada peserta didik yang orang tuanya/ walinya tak mampu untuk biaya pribadi. Hal ini hingga kini belum ada jawaban secara pasti.
4. Berdasar Penjelasan PP no 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Bidang Pendidikan sub Pembiayaan, adalah :
a. Pemerintah :
1). Penetapan pedoman pembiayaan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, pendidikan non formal, pendidikan khusus, dan pendidikan layanan khusus.
2). Penyediaan biaya dan subsidi penyelenggaraan pendidikan tinggi.
3). Penyelenggaraan subsidi biaya pendidikan anak usia dini, pendidikan
dasar, pendidikan menengah, pendidikan khusus, dan pendidikan layanan khusus.
b. Pemerintah Daerah Provinsi :
1). Penyediaan biaya penyelenggaraan pendidikan menengah, pendidikan khusus, dan pendidikan layanan khusus.
2). Pemberian bantuan biaya penyelengaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan non formal.
3). Pemberian bantuan pembiayaan penyelenggaraan perguruan tinggi.
c. Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten: Menyediakan biaya penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan non formal.

D. KARAKTERISTIK INOVASI SEKOLAH GRATIS
Inovasi sekolah gratis dapat ditunjukkan dari tingkat (1) kebermanfaatan atau relative advantage, (2) diterimanya atau comtability, (3) kekomplekan atau complexity, (4) ketercobaan atau trialibility, dan (4) keteramatan hasil inovasi atau observability.
1. Tingkat Kebermanfaatan Inovasi Sekolah Gratis
Kebermanfaat sekolah gratis adalah sangat dirasakan utamanya masyarakat ekonomi menengah ke bawah, sehingga memiliki dampak positif pada kesempatan memperoleh pendidikan dasar bagi semua orang. Atau dengan kata lain ikut mensukseskan program pendidikan untuk semua atau educational for all.
Manfaat bagi sekolah adalah peningkatan jumlah bantuan operasional siswa (BOS), beaya operasional satuan pendidikan (BOSP),dan bantuan lainnya; Sehingga walau siswa gratis tidak menjadi persoalan yang berat, dan kegiatan pendidikan berjalan.
Namun demikian muncul beberapa keluhan dari pengelola sekolah jika sekolah negeri tak menarik dana dari murid sama sekali maka peningkatan mutu akan mengalami hambatan. Disinilah diperlukan kreativitas Kepala sekolah dan Komite Sekolah untuk menggali dana lain yang syah, misalnya dari Dunia usaha dan dunia industri, membuka usaha semisal toko, koperasi dll.
2. Tingkat Komtabilitas Inovasi Sekolah Gratis
Tingkat komtabilitas atau penerimaan dari masyarakat utamanaya dari siswa dan orang tua siswa jelas menerima dengan senang hati utamanya dikalangan masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Namun bagi sekolah utamanya sekolah swasta, dengan gerakan sekolah gratis menjadi tantangan tersendiri; Kecuali sekolah swasta papan atas walau siswa atau orangtua siswa harus membayar uang sekolah lebih tinggi tidak menjadi persoalan serius, sepanjang harapan orang tua akan kemajuan siswa terpenuhi; Sebut saja sebagai contoh adalah SMA TN Magelang diantara nya rela menyumbang lebih dari Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) pada awal penerimaan siswa baru. Mereka rela dikenai SPP dan kebutuah lain sebesar Rp 2.000.000,- (dua juta rupiah) setiap bulannya. Sekolah lain misalnya SD Al Ahzar Jakarta, SMP Al Ahzar Jakarta, SMP Loyalo, dll.
Hal ini sekaligus sebagai tantangan bagi Pemerintah Daerah untuk berlomba meningkatkan mutu pendidikan dasar, dan bahkan di Kabupaten Jembrana Bali telah berani menyelenggarakan Sekolah Gratis hingga pendidikan Menengah. Tentu saja Kota dan Kabupaten lain yang memiliki pendapatan daerah tinggi seperti Bontang, Bangka Blitung, Aceh dll. Berani meniru Jembrana.
3. Tingkat Kompleksitas Inovasi Sekolah Gratis
Kebijakan inovasi ini tentu harus diikuti manajemen pembiayaan yang lebih matang, sesuai dengan aturan sekolah gratis. Sekolah dan Komite Sekolah harus juga kreatif untuk menggali sumber dana lain yang syah. Berbagai bantuan seperti SSB, BOS, BOSP, dan antuan lainnya, baik dari pemerintah pusat, daerah provinsi, kota/kabupaten, masyarakat, dudi, usaha yang syah dan bantuan lain yang tak mengikat harus dikelola secara transfaran, dapat dipertanggung jawabkan pada berbagai fihak pula. Inilah salah satu bentuk kompleksitas inovasi sekoklah gratis.
4. Tingkat Ketercobaan Inovasi Sekolah Gratis
Tahun 2008 dan 2009 merupakan tahun evaluasi bagaimana ketercobaan Sekolah Gratis. Dari lapangan telah muncul berbagai pro kontra akan sekolah gratis. Walau Mendiknas berkampanye dengan gerakan sekolah gratis melalui berbagai cara dan media, namun ada pula yang pro dan kontra. Diantaranya disuarakan oleh Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo bahwa sekolah gratis tidak mungkin, sebab kalau mau maju ya harus perlu biaya yang harus di bayar. Orang Jawa bilang ”Jer basuki mawa bea” artinya Demi kebaikan perlu dana.
Namun satu hal yang perlu diingat bahwa banyak pendidikan kedinasan seperti Akmil, Akpol, AAU, AAL, STAN, STIS, IIN, AKSARA, dll. Gratis. Artinya siswa tidak dipungut biaya sama sekali; Sudah barang tentu ada sumber dana yang menopangnya. Kiranya perlu pula ditiru bagi Pemerintah Kota/Kabupaten untuk menyelenggerakan satu SD, SMP, SMA gratis bagi yang cerdas sebagaimana awal mulanya SMA TN Magelang yang menerima siswa pilihan secara gratis, dan lulusannya benar-benar unggul dan diperhitungkan baik perguruan tinggi dalam maupun luar negeri.
5. Tingkat Observabilitas Inovasi Sekolah Gratis
Hasil inovasi sekolah gratis dapat secara mudah diamati dan dirasakan. Di sekolah misalnya, kalau pada saat siswa masih harus membayar SPP, atau uang sekolah lainnya tentu ada anak yang terlambat membayar, dan bahkan banyak siswa yang pusing karena menjelang ujian semester belum melunasi SPP atau uang sekolah, namun hal seperti itu sekarang tidak akan terjadi di sekolah negeri karena siswa gratis. Demikian pula sangat tampak perbedaannya antara mahasiswa Akmil dan sekolah kedinasan lainnya tak dipusingkan dengan bea sekolah, jika dibandingkan dengan mahasiswa pada perguruan tinggi lain yang harus masih membayar SPP.
Persoalan yang muncul adalah dari mana sumber dana harus digali jika pendidikan menengah dan pendidikan tinggi harus menggratiskan bagi para peserta didiknya.

E. PROSES INOVASI, PERAN OPINION LEADER, DAN KECEPATAN ADOPSI INOVASI SEKOLAH GRATIS
1. Proses Difusi Inovasi Sekolah Gratis
Proses difusi inovasi sekolah gratis wajar dikdas 9 tahun melalui proses yang cukup panjang. Di tataran global internasional terdapat beberapa deklarasi dan atau kesepakatan bersama diantaranya :
a. Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Asasi Manusia 1948 di San Fransisco.
b. Deklarasi Jomten Thailand tentang Educational For All (EFA) 1990.
c. Deklarasi Salamanca 1994 tentang penuntasan EFA.
d. Deklarasi Dakar Sinegal 2000 tentang MDGs (Millenium Development Goals) yang mrngharuskan seluruh anggota PBB untuk menuntaskan pendidikan dasar selambat-lambatnya 2015..
Di Indonesia muncul beberapa event, deklarasi, dan peraturan diantaranya :
a. Pencanangan wajib belajar pendidikan dasar 6 tahun (SD atau yang sederajat) oleh Presiden RI Soeharto pada tahunn1984
b. Muncul UU no 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga mngamatkan perihal yang sama.
c. Pada tahun 1994 Presiden Soeharto mencanangkan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun (SD plus SMP atau yang sederajat).
d. Muncul UU no 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, juga mengamanatkan wajar dikdas 9 tahun (SD plus SMP atau yang sederajat).
e. Muncul PP 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan, dan sering disebut Sekolah Gratis.
f. Keluar SE Mendagri no. 903/2706/SJ tentang Pendanaan Pendidikan dalam APBD tahun 2009. dinyatakan bahwa anggaran fungsi pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari Belanja Negara dan 20 % Belanja Daerah. Alokasi belanja fungsi pendidikan terdiri dari : (1) Belanja langsung pada Dinas Pendidikan (non Belanja pendidikan kedinasan), dan (2) Belanja tidak langsung meliputi gaji, bantuan keuangan, hibah, dan bansos.
2. Peran Opinion Leader
Opinion leader atau pemimpin opini dalam inovasi sekolah gratis adalah Mendiknas, yang secara getol mempromosikan adanya sekolah gratis.Lepas ada tidaknya muatan politik, yang jelas Mendiknas memiliki pengaruh dalam pensuksesan gerakan sekolah gratis. Artinya jajaran diknas dibawahnya tak satupun yang menolak. Akibatnya program ini berjalan lancar.
3. Kecepatan Adopsi Inovasi
Kecepatan adopsi inovasi sekolah gratis dengan serentak berjalan pada seluruh SD dan SMP negeri. Artinya memiliki kecepatan luar biasa, dengan perintah, dan aturan tentu diikuti SSB, BOS, BOSP, dan bantuan lainnya, sehingga perjalanan sekolah gratis relatif cepat.
Demikian sekilas tentang Sekolah Gratis, yang merupakan salah satu inovasi pendidikan dasar di Indonesia, sekaligus sebagai satu langkah menuju mendekati arah wujud tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah dalam upaya mencerdaskan bangasa, sebagai wujud tanggung jawab pemerintah dannegara terhadap tumpah darah dan warga negara Indonesia. Semoga memacu diskusi dan pandangan pro kontra lebih jauh.

DAFTAR PUSTAKA
PP nomer 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan
SE Mendagrii nomer 903/2706/SJ tentang Pendanaan Pendidikan dalam APBN 2009
Sekolah Gratis: Pemerintah Tidak Menanggung Biaya Pribadi, Suara Merdeka: 25 Mei
2009, hal O, kol. 2-5
UUD 1945 (Amandemen)
UU nomer 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional


BIO DATA PENULIS
Tawil Drs, M.Pd. dilahirkan di Sragen pada 08-01-1957. Lulus SD di Sragen1968, Lulus PGA 6 tahun di Surakarta 1974, Lulus S1 PLB UNS di Surakarta 1980. Lulus S2 Manajemen Pendidikan (MP) UNY di Yogyakarta 2006. Kini studi S3 Manajemen Pendidikan UNNES di Semarang. Sebagai dosen Kopertis Wilayah VI Jateng dpk pada Universitas Muhammadiyah Magelang sejak 1981 hingga kini. Jabatan fungsional akademik Lektor Kepala.

SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL

Inovasi Pendidikan dalam Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing

Oleh : Drs. Tawil, M.Pd


Intisari

Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) atau Internationally Standardized School(ISS), merupakan salah satu inovasi pendidikan dasar dan menengah di Indonesia, utamanya untuk pilar peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing. Tahapan yang harus dilalui untuk menjadi SBI adalah RSBI, SSN atau SKM. Artinya untuk menuju ke SBI, sekolah-sekolah reguler harus melalui tahap menjadi SSN (Sekolah Standar Nasional) untuk SD dan SMP, atau SKM (Sekolah Kategori Mandiri) untuk SMA dan SMK, kemudian meningkat ke RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional), dan baru ke SBI (Sekolah Bertaraf Internasional). SBI pada dasarnya adalah SSN plus. Dikatakan SSN sebab sekolah tersebut tetap mengacu pada sekolah berstandar nasional dengan memenuhi delapan standar nasional pendidikan (SNP), namun harus memiliki plus atau kelebihan-kelebihan bertaraf internasional, . Karena SBI disamping menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa pengantar di sekolah, SBI juga mewajibkan bahasa Ingris sebagai bahasa pengantar pada mata pelajaran tertentu, maka SBI juga sering disebut sekolah Bilangual Boarding School. Hal-hal lain yang harus dipenuhi diantaranya adalah penggunaan kurikulum bertaraf internasional, kompetensi lulusan bertaraf internasional, kualifikasi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan bertaraf internasional, penguasaan bahasa Inggris bagi siswa, pendidik dan tenaga kependidikan pada level Toefl tertentu, budaya dan penggunaan IT (Information Technologi), pengembangan strategi pengajaran, penggunaan sarana pendidikan bertaraf internasional, pertukaran peserta didik dengan SBI di negara asing anggota OECD, pertukaran pendidik dengan SBI di negara asing anggota OECD, pengelolaan, pembiayaan, penilaian, dan akreditasi bertaraf internasional. Pendek kata SBI harus memenuhi syarat pencapaian indikator kerja kunci minimal yakni 8 SNP, dan pencapaian indikatpor kinerja kunci tambahan bertaraf internasional yakni terakreditasi ISO9000 ISO14000 sesuai OECD atau negara maju lainnya dalam bidang pendidikan.

Kata kunci : Sekolah Bertaraf Internasional

A. Konsepsi dan Karakteristik SBI

1. Konsepsi esensial SBI

Tiga esensi konsep SBI adalah:

a. Memenuhi seluruh standar nasional pendidikan (SNP) meliputi 8 (delapan) standar yakni: (1)standar isi, (2) standar kompetensi lulusan, (3) standar proses pembelajaran, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (9) standar penilaian (Permendiknas nomer 24/2006).

b. Diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu anggota OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) atau negara maju yang memiliki keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan melalui dua cara yakni adaptasi, dan adopsi; Yang dimaksud adaptasi adalah penyesuaian unsur-unsur tertentu yang sudah ada dalam SNP dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu negara anggota OECD dan atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu bidang pendidikan. Yang dimaksud adopsi adalah penambahan unsur-unsur tertentu yang belum ada dalam SNP dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalm bidang pendidikan. Adapun OECD berkedudukan di Paris Perancis, merupakan organisasi internasional untuk membantu pemerintah negara-negara anggotanya menhadapi tantangan globalisasi ekonomi. Awal mulanya lahir 14 Desember 1960 melalui konvensi OECD yang diikuti oleh beberapa negara. Hingga kini terdapat 30 negara bergabung dalam OECD adalah Australia, Austria, Belgia, Canada, Republik Czech, Denmark, Finlandia, Prancis, Jerman, Mesir, Hungaria, Iceland, Irlandia, Itali, Jepang, Korea, Luxemberg, Mexiko, Belanda, New Zaeland, Norwegia, Polandia, Portugal, Slowakia, Spanyol, Swedia, Swizerland, Turki, United Kingdom, dan Amerika Serikat; Negara yang akan diundang untuk bergabung diantaranya Chili, Estonia, Israel, Rusia, Slovenia, Brazil, Cina, India, Indonesia, dan Afrika Selatan.

c. Memiliki daya saing bertaraf internasional utamanya lulusan nya dapat melanjutkan pada satuan pendidikan bertaraf internasional.

2. Karakteristik SBI

Karakteristik atau ciri SBI adalah:

a. Pengakuan internasional terhadap proses dan hasil atau keluaran pendidikan yang berkualitas dan teruji dalam berbagai aspek

b. Pengakuan internasional dalam hal standar pendidikan.

c. Bukti sertifikasi dari negara OECD atau dari negara maju yang memiliki keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan.

B. Landasan Kebijakan SBI

Landasan kebijakan diselenggarakannya SBI adalah :

1. UUD 1945.

a. Pembukaan UUD 1945 alinea ke 4 disebutkan bahwa tujuan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

b. Pasal 31 UUD 1945 dinyatakan bahwa: (1) Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membayainya; serta (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, dan ketakwaan seta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

2. UU nomer 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada pasal 50 dinyatakan bahwa: (1) Pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab Menteri. (2) Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan stándar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional. (3) Pemerintan dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi sekolah yang bertaraf internasional.

3. UU nomer 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, mengatur perencanaan pembangunan jangka panjang sebagai arah dan prioritas pembangunan secara menyeluruh yang akan dilaksanakan secara bertahap untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

4. PP nomer 19/2005 tentang Stándar Nasional Pendidikan, pada pasal 61 ayat (1) dinyatakan bahwa Pemerintah bersama-sama pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan sekurang-kurangnya satu sekolah pada jenjang pendidikan menengah untuk dikembangkan menjadi sekolah bertaraf internasional.

5. Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional tahun 2005-2009 menyatakan bahwa untuk meningkatkan daya saing bangsa, perlu dikembangkan sekolah bertaraf internasional pada tingkat kabupaten/kota melalui kerjasama yang konsisten antara pemerintah dengan pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan, untuk mengembangkan SD, SMP, SMA, dan SMK yang bertaraf internasional sebanyuak 112 unit di seluruh Indonesia.

6. UU nomer 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

7. UU nomer 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

8. UU nomer 14/2005 tentang Guru dan Dosen.

9. UU nomer 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional.

10. PP nomer 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

11. PP nomer 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan.

12. Permendiknas nomer 6/2007 sebagai penyempurnaan Permendiknas nomer 24/2006 tentang Pelaksanaan Permendiknas nomer 22 dan 23 tahun 2006

13. Permendiknas nomer 12/2007 tentang Stándar Pengawasan Sekolah-Masdrasah.

14. Permendiknas nomer 13/2007 tentang Standar Kepala Sekolah-Madrasah

15. Permendiknas nomer 16/2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.

16. Permendiknas nomer 18/2007 tentang Sertifikasi Bagi Guru dalam Jabatan.

17. Permendiknas nomer 19/2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.

18. Permendiknas nomer 20/2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan.

19. Permendiknas nomer 24/2007 tentang Standar Sarana Prasarana Sekolah SD-MI, SMP-MTs, SMA-MA.

20. Permendiknas nomer 41/2007 tentang Standar Proses Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.

21. PP nomer 74/2008 tentang Guru.

22. PP nomer 41/2009 tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen.

Dari peraturan perundangan tersebut diatas menunjukkan bahwa ada kesungguhan pemerintah dalam upaya peningkatan mutu, relevansi dan daya saing pendidikan Indonesia dalam era globalisasi.

C. Penjaminan Mutu SBI

Penjaminan mutu SBI meliputi (1) akreditasi, (2) kurikulum, (3) proses pembelajaran, (4) penilaian, (5) pendidik, (6) tenaga kependidikan, (7) sarana dan prasarana, (8) pengelolaan, (9) pembiayaan.

1. Akreditasi

Mutu SBI dijamin dengan keberhasilan memperoleh akreditasi yang sangat baik atau predikat A. Keberhasilan tersebut ditandai:

a. Pencapaian indikator kerja kunci minimal dari Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN S/M);

b. Pencapai indikator kinerja kunci tambahan yaitu hasil akreditasi yang baik dari salah satu negara OECD dan/atau negara maju lain yang mempunyai keunggulan tertentu bidang pendidikan; seperti akreditasi dari ISO9000, ISO14000, BS5750.

2. Kurikulum

Mutu SBI dijamin dengan keberhasilan melaksanakan kurikulum secara tuntas. Keberhasilan tersebut ditandai:

a. Pencapaian indikator kerja kunci minimal berupa menerapkan KTSP, menerapkan Sistem Kredit Semester (SKS) di SMA, memenuhi standar isi, dan memenuhi standar kompetensi lulusan. Berdasarkan Permendiknas nomer 22/2006 bertanggal 7 Juni 2006 bahwa standar isi mencakup: (1) Kerangka dasar dan struktur kurikulum yang merupakan pedoman dalam penyusunan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan. (2) Beban belajar bagi peserta didik pada satuan pendidikan dasar dan menengah. (3) KTSP yang akan dikembangkan oleh satuan pendidikan berasarkan panduan penyusunan kurikulum sebagi bagian tidak terpisahkan dari standar isi, dan (4) Kalender pendidikan untuk penyelenggaraan pendidikan pada satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah.

b. Pencapai indikator kinerja kunci tambahan berupa sistem akademik berbasis teknologi informasi komunikasi (TIK) dimana setiap saat siswa bisa mengakses transkripnya masing-masing, memiliki muatan mata pelajaran setara atau lebih tinggi dari sekolah unggul pada negara OECD atau negara maju lainnya, menerapkan standar kelulusan sekolah yang lebih tinggi dari standar kompetensi lulusan.

3. Proses Pembelajaran

Mutu SBI dijamin dengan keberhasilan melaksanakan proses pembelajaran yang efektif efisien. Keberhasilan tersebut ditandai:

a. Pencapaian indikator kerja kunci minimal, yakni memenuhi standar proses. Berdasar Permendiknas nomer 41/2007 bertanggal 23 November 2007 bahwa Standar Proses meliputi perencaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Proses pembelajaran pada setiap satuan pendidikan harus interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

b. Pencapaian indikator kinerja kunci tambahan yakni: (1) Menjadi teladan bagi sekolah lainnya dalam pengembangan akhlak mulia, budi pekerti luhur, kepribadian unggul, kepemimpinan, jiwa entrepreneural, jiwa patriot, dan jiwa inovator. (2) Diperkaya dengan model proses pembelajaran dari sekolah unggul pada negara OECD atau negara maju lainnya. (3) Menerapkan pembelajaran berbasis TIK pada semua mata pelajaran. (4) Pembelajaran kelompok sain, matematika, dan inti kejuruan menggunakan bahasa Inggris. Pelajaran lain menggunakan bahasa Indonesia. (5) Pembelajaran dengan bahasa Inggris untuk mata pelajaran kelompok sains, dan matematika untuk SD/MI baru dapat dimulai pada kelas IV

4. Penilaian

Mutu SBI dijamin dengan keberhasilan menunjukkan kinerja pendidikan yang optimal melalui penilaian. Keberhasilan tersebut ditandai:

a. Pencapaian indikator kerja kunci minimal yaitu memenuhi standar penilaian sesuai SNP. Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik. Penilaian pendidikan mencakup ulangan, ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, ulangan kenaikan kelas, ujian sekolah/madrasah, dan ujian nasional. Prinsip-prinsip yang harus ditegakkan dalam penilaian adalah: (1) Sahih. (2) Objektif. (3) Adil. (4) Terpadu. (5) Terbuka. (6) Menyeluruh. (7) Sistematis. (8) Beracuan kriteria. (9) Akuntabel atau dapat dipertanggung jawabkan. Teknik penilaian hasil belajar bisa berupa tes, observasi, penugasan, dan bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik kompetensi dan tingkat perkembangan peserta didik.

b. Pencapaian indikator kinerja kunci tambahan, yaitu memperkaya penilaian kinerja pendidikan dengan model penilaian dari sekolah unggul pada negara OECD atau negara maju lainnya.

5. Pendidik

Mutu SBI dijamin dengan pendidik atau guru yang menunjukkan kinerja optimal sesuai dengan tugas profesionalnya. Keberhasilan tsb ditandai:

a. Pencapaian indikator kerja kunci minimal, yaitu memenuhi standar pendidik sesuai SNP. Berdasarkan Permendiknas nomer 16/2007 bertanggal 4 Mei 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, disebutkan bahwa: (1) Guru TK/RA harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimal D-IV atau S1 dalam bidang PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), atau Psikologi yang diperoleh dari program studi yang terakreditasi. (2) Guru SD/MI, atau bentuk lain yang sederajat, harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimal D-IV atau S1 dalam bidang pendidikan SD/MI, PDSD/PGMI, atau Psikologi yang diperoleh dari program studi yang terakreditasi. (3) Guru SMP/MTs, atau bentuk lain yang sederajad, harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimal D-IV atau S1 program studi yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan/diampu, dan diperoleh dari program studi yang terakreditasi. (4) Guru SMA/MA, atau bentuk lain yang sederajat, harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimal D-IV atau S1 program studi yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan/diampu, dan diperoleh dari program studi yang terakreditasi. (5) Guru SDLB/SMPLB/SMALB, atau bentuk lain yang sederajat, harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimal D-IV atau S1 program studi yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan/diampu, dan diperoleh dari program studi yang terakreditasi. (6) Guru SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimal D-IV atau S1 program studi yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan /diampu, dan diperoleh dari program studi yang terakreditasi.

b. Pencapaian indikator kinerja kunci tambahan berupa: (1) Semua guru mampu memfasilitasi pembelajaran berbasis TIK. (2) Guru mata pelajaran kelompok sain, matematika, dan inti kejuruan mampu mengampu pembelajaran berbahasa Inggris. (3) Minimal 30 % guru berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang berakreditasi untuk jenjang pendidikan SMA/MA/SMK/MAK; Minimal 20 % untuk jenjang pendidikan SMP/MTs; Dan minimal 10 % untuk jenjang pendidikan SD/MI

6. Tenaga Kependidikan

Mutu SBI dijamin dengan Kepala Sekolah yang menunjukkan kinerja optimal sesuai dengan tugas profesionalnya, yaitu sebagai pemimpin manajerial-administratif dan pemimpin manajerial-edukatif. Keberhasilan tersebut ditandai: a. Pencapaian indikator kerja kunci minimal, yaitu memenuhi Standar Kepala

Sekolah. Berdasarkan Permendiknas nomer 17/2007 bertanggal 17 April 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah, bahwa Kepala Sekolah harus: (1) memilik kualifikasi akadmik S1 atau D-IV kependidikan atau non-kependidikan pada perguruan tinggi yang terakreditasi. (2) pada waktu diangkat sebagai Kepala Sekolah berusia setinggi-tingginya 56 tahun. (3) memilki pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 5 tahun menurut jenjang sekolah masing-masing, kecuali TK/RA sekurang-kurangnya 3 tahun di TKK/RA. (4) memiliki pangkat serendah-rendahnya IIIc bagi PNS, dan bagi non-PNS disetarakan dengan kepangkatan yang dikeluarkan oleh Yayasan atau lembaga yang berwenang. (5) syarat khusus yakni memiliki sertifikasi pendidik dan sertifikasi Kepala Sekolah yang diterbitkan oleh lembaga yang ditetapkan oleh Pemerintah.

b. Pencapaian indikator kinerja kunci tambahan : (1) Kepala Sekolah minimal S2 dari perguruan tinggi berakreditasi A dan telah menempuh pelatihan Kepala Sekolah dari lembaga pelatihan yang diakui oleh Pemerintah. (2) Kepla Sekolah mampu berbahasa Inggris aktif. (3) Kepala Sekolah bervisi internasional, mampu membangun jejaring internasional memiliki kompetensi manajerial, serta jiwa kepemimpinan dan entrepreneural yang kuat.

7. Sarana dan Prasarana

Mutu SBI dijamin dengan kewajiban sekolah memiliki dan memelihara sarana prasarana pendidikan yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkesinambungan. Keberhasilan tsb. ditandai:

a. Pencapaian indikator kerja kunci minimal, yaitu memenuhi Standar Sarana Prasarana, sesuai SNP.

b. Pencapaian indikator kinerja kunci tambahan berupa: (1) Setiap ruangan dilengkapi dengan sarana pembelajaran berbasis TIK. (2) Perpustakaan dilengkapi dengan sarana digital yang memberikan akses ke sumber pembelajaran berbasis TIK di seluruh dunia. (3) Dilengkapi ruang multimedia, ruang unjuk seni budaya, fasilitas olahraga, klinik, dsb.

8. Pengelolaan

Mutu SBI dijamin dengan pengelolaan yang menerapkan manajemen berbasis sekolah. Keberhasilan tersebut ditandai:

a. Pencapaian indikator kerja kunci minimal, yaitu memenuhi Standar Pengelolaan berdasar SNP.

b. Pencapaian indikator kinerja kunci tambahan berupa: (1) Meraih sertifikat ISO 9001 versi 2000 atau sesudahnya dari ISO 14000. (2) Merupakan sekolah multikultural. (3) Menjalin hubungan ”sister school” dengan SBI di luar negeri. (4) Bebas narkoba dan bebas rokok. (5) Bebas kekerasan. (6) Menerapkan prinsip kesetaraan gender dalam segala aspek pengelolaan sekolah.Bebas kekerasan. (7) Meraih medali tingkat internasional pada berbagai kompetisi sains, matematika, teknologi, seni, dan olahraga.

9. Pembiayaan

Mutu SBI dijamin dengan pembiayaan yang sekurang-kurangnya terdiri atas biaya investasi, biaya operasional, dan biaya personal. Keberhasilan tersebut ditandai:

a. Pencapaian indikator kerja kunci minimal, yaitu memenuhi Standar Pembiayaan berdasar SNP.

b. Pencapaian indikator kinerja kunci tambahan, yaitu menerapkan model pembiayaan yang efisien untuk mencapai berbagai target indikator kunci tambahan.

D. Model Penyelenggaraan SBI

Terdapat empat model penyelenggaraan SBI, adalah:

1. Model Terpadu-Satu Sistem, atau Satu Atap-Satu Sistem;

2. Model Terpisah-Satu Sistem, atau Tidak Satu Atap-Satu Sistem;

3. Model Terpisah-Beda Sistem, atau Tidak Satu Atap-Beda Sistem;

4. Model Entry-Exit, Keluar-Masuk

Yang dimaksud dengan model 1 atau Model Terpadu-Satu Sistem, atau Satu Atap-Satu Sistem adalah penyelenggaraan SBI pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dalam satu lokasi, dengan menggunakan sistem pengelolaan yang sama. SBI dengan model ini dapat dipimpin oleh seorang direktur/manajer yang mengkoordinasikan tiga Kepala Sekolah/Madrasah yang memimpin setiap satuan pendidikan dasar dan menengah.

Yang dimaksud dengan model 2 atau Model Terpisah-Satu Sistem atau Tidak Satu Atap-Satu Sistem adalah penyelenggaraan SBI pada jenjang pendidikan dasar dan menengah di dalam lokasi yang berbeda atau terpisah dengan menggunakan sistem pengelolaan pendidikan yang sama. SBI dengan model ini dapat dipimpin oleh seorang direktur/manajer yang mengkoordinasikan tiga Kepala Seklah/Madrasah yang memimpin setiap satuan pendidikan dasar dan menengah yang berbeda pada lokasi berbeda..

Yang dimaksud dengan model 3 atau Model Terpisah-Beda Sistem atau Tidak Satu Atap-Beda Sistem adalah penyelenggaraan SBI pada jenjang pendidikan dasar dan menengah di lokasi yang berbeda atau terpisah dengan sistem pengelolaan pendidikan yang berbeda. Penyelenggaraan SBI semacam ini disarankan hanya pada fase RSBI, yang pada kurun waktu selanjutnya untuk menggunkan model 1 atau model 2.

Yang dimaksud dengan model 4 atau Model Entry-Exit atau Keluar-Masuk adalah penyelenggaraan SBI pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dengan cara mengelola kelas-kelas reguler dan kelas-kelas bertaraf internasional. Peserta didik pada kelas bertaraf internasional yang oleh karena berbagai alasan tertentu bisa pindah ke kelas reguler. Begitu pula sebaliknya peserta didik pada kelas reguler bisa pindah ke kelas bertaraf internasional jika dipandang memenuhi persyaratan yang diperlukan untuk masuk ke kelas bertaraf internasional.

E. SBI Merupakan Inovasi Pendidikan dalam Upaya Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing

1. SBI Dikembangkan oleh Pemerintah yang Good Governance.

SBI merupakan kebijakan publik level nasional yang diselenggarakan oleh pemerintah yang baik atau good governance merupakan inovasi guna meningkatkan mutu pendidikan dan peningkatan relevansi dan daya saing. Kebijakan ini cukup bagus guna meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia di era globalisasi dan persaingan atau kompetisi yang semakin tajam, dengan SBI pelajar Indonesia mampu bersaing ditingkat internasional dalam mutu lulusan, kemampuan penggunaan teknologi informasi, dan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional..

Prospek mendatang cukup menggembirakan, sebab antusias masyarakat terhadap SBI luar biasa dengan semangat memasukkan anaknya ke SBI utamanya di kota-kota. Dan oleh pemerintah ditarget pada tahun 2010 Indonesia setidaknya memiliki 112 SBI yang tersebar di kabupaten/kota se Indonesia.

Semoga semakin maju, didukung oleh pendidikan yang bermutu.

Amien.

2. Karakteristik Inovasi SBI Ditinjau dari:

a) Tingkat kebermanfaatannya atau relative advantage, bahwa SBI memberikan manfaat:

(i) Peningkatan mutu pendidikan di Indonesia yang tidak hanya diakui atau terakreditasi secara nasional yakni BAN S/M, tetapi juga diakui secara internasional, dengan diperolehnya akreditasi ISO.

(2}Bagi pelajar Indonesia atau tamatan SBI mampu bersaing secara internasional, yang ditandai dapat melanjutkan pendidikan di mana-mana secara internasional, mampu berbahasa Inggris dengan TOFL lebih dari 450, mampu mengaplikasikan IT (Information Technologi), dan memperoleh piagam kompetisi tingkat internasional dalam bidang sains, matematika, teknologi, olahraga, dan seni.

(3) Dalam jangka tertentu pada gilirannya meningkatkan mutu kecerdasan kehidupan bangsa dimata internasional, sesuai dengan tujuan pemerintah dan NKRI, seabagaimana termaktub dalam UUD 1945.

b) Tingkat diterimanya inovasi atau comptability, bahwa SBI hingga kini terbukti:

(1) Diterima dan didukung oleh pemerintah, pemerintah daerah, DPR, DPRD dan masyarakat luas.

(2) Menjadi kebanggaan masyarakat dengan bukti bahwa masyarakat berebut untuk menyekolahkan anaknya ke SBI.

(3) Mutu dan daya saing SBI setara dengan SBI di negara anggota OECD.

c) Tingkat kekomplekan atau complexity, bahwa pelaksanaan SBI. tidak terlalu sulit, sepanjang memenuhi tiga karakteristik atau ciri SBI adalah:

(1) Pengakuan internasional terhadap proses dan hasil atau keluaran pendidikan yang berkualitas dan teruji dalam berbagai aspek

(2) Pengakuan internasional dalam hal standar pendidikan.

(3) Bukti sertifikasi dari negara OECD atau dari negara maju yang memiliki keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan.

Terbukti banyak sekolah yang mampu memenuhi persyaratan SBI, banyak siswa yang mampu mengikuti SBI, banyak guru yang memenuhi syarat untuk mengajar di SBI. Sebab memang nampaknya persyaratan IT dan bahasa Inggris bagi guru dan siswa sudah tidak menjadi masalah. Tentu belum semua sekolah reguler siap dan mampu ke SBI.

d) Tingkat ketercobaan atau trialability, bahwa SBI yang dimulai sejak 2008 hingga 2010 diharap Indonesia memiliki 112 unit SBI yang tersebar pada setiap kabupaten/kota.

Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketercobaannya meyakinkan.

e) Tingkat keteramatan atau observability, bahwa hasil SBI dapat dilihat dari lulusan SBI melanjutkan studi kemana, mampukah lulusan SBI melanjutkan ke SBI dalam dan luar negeri, dan kini masih sulit diperoleh data konkrit tentang itu. Namun untuk sementara dari hasil Tes Pengendali Mutu (TPM) pada umumnya SBI menduduki ranking teratas pada masing-masing kabupaten/kota dibanding dengan sekolah lainnya; dari perolehan penghargaan kompetisi olimpiade sains, matematika, olanhraga, dan seni bahwa SBI palng banyak memborong kejuaraan dan hadiahnya; dari hasil survey guru, siswa. dan kepala sekolah yang sempat mengikuti pertukaran dengan SBI luar negeri atau sister school di negara-negara OECD bahwa mutu SBI di Indonesia tak kalah dan bahkan pada hal-hal tertentu ternyata lebih baik SBI Indonesia.

3 Proses difusi inovasi SBI.

Di Indonesia semua sekolah reguler diharap memenuhi SNP. Artinya diharap sekolah reguler menjadi SSN, dan pada saatnya setelah SSN menjadi RSBI, kemudian menjadi SBI. Karena berbagai hal maka baru ditargetkan terdapat 112 SBI se Indonesia pada tahun 2010. Sebab memang tiga tuntutan yakni pengakuan internasional dengan diperolehnya akreditasi dari ISO, budaya pembelajaran berbasis teknologi informatika, dan budaya pembelajaran menggunakan bahasa Ingris dengan TOEFL minimal 450 untuk siswa, 400 untuk guru, dan 350 untuk karyawan hal yang tidak mudah, melainkan harus diperoleh secara bertahap.

4. Kecepatan adopsi

Kecepatan adopsi sistem sosial pendidikan berkenaan dengan inovasi yang ada, tentu tak dapat dilepas dari dukungan dan kendala.

Diantara dukungan tersebut adalah dari pemerintah, walau masih terus harus ditingkatkan. Sebab pemerintah baru menargetkan setiap kabupaten/kota sekurang-kurangnya memiliki satu SBI untuk setiap jenjang pendidikan SD, SMP, SMA, dan SMK. Hal ini barangkali karena anggaran. Juga dukungan dari masyarakat tentu belum semuanya.

Adapun kendalanya adalah memenuhi persyaratan SBI oleh sekolah meliputi persyaratan Kepala Sekolah berpendidikan S2/S3, guru harus berpendidikan S2/S3 sekurang-kurangnya 10 % untuk SD, 20 % untuk SMP, dan 30 % untuk SMA dan SMK bukan hal yang mudah; Itupun harus linier antara prodi yang diambil dengan bidang studi yang diampunya. Budaya pembelajaran berbasis bahasa Inggris, dan budaya pembelajaran berbasis teknologi informasi juga bukan hal yang mudah, utamanya bagi guru-guru senior. Kendala ini bukan sekadar minimnya dana untuk studi lanjut. Perlu diketahui bahwa rerata pemkot/pemkab hanya memberikan bantuan dana Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah)/guru/paket studi S2, padahal untuk merampungkan studi S2 tidak kurang dari 50 juta rupiah. Kendala lain adalah kemampuan dan kesempatan guru yang umumnya banyak kesibukan keluarga, pekerjaan, sosial dll. Oleh karena itu sebaiknya pemerintah memberikan beasiswa bagi guru yang studi S2/S3 sebagaimana BPPS bagi dosen, dengan cara ditugas belajarkan

5. Agen Perubahan dan Opinion Leader

Yang berperan dalam agen perubahan adalah Kepala Dinas Pendidikan Provinsi, Kabupaten/Kota, Dirjen Dikdasmen, Direktur Pembinaan SMK, SMA, SMP, TK-SD.Adapun opinion leader adalah Menteri Pendidikan Nasional.

6. Perubahan sosial sebagai dampak dari inovasi SBI

Perubahan sosial sebagai dampak dari inovasi SBI diantaranya

(1).Hampir semua masyarakat mendambakan untuk memasukkan anaknya ke SBI.

(2). Dorongan siswa untuk menguasai TI dan bahasa Inggris semakin kuat.

(3). Kesadaran masyarakat atas kompetisi global-internasional meningkat.

(4). Pukulan berat bagi sekolah reguler yang tidak mampu memenuhi syarat menuju SBI.

(5). Warga masyarakat yang tidak mampu bersaing harus sabar; Jika tidak maka akan menimbulkan perilaku yang tidak diinginkan.

F. Kesimpulan

SBI atau Sekolah Bertaraf Internasional merupakan salah satu inovasi bidang pendidikan di Indonesia. SBI diselenggarakan untuk peningkatan mutu, relevansi dan daya saing pendidikan Indonesia dalam era globalisasi, karena SBI memenuhi SNP (Standar Pendidikan Nasional), dan memenuhi standar internasional setara dengan SBI di negara-negara anggota OECD (Organization for Economic and Development), atau negara maju lainnya bidang pendidikan.

Karakteristik atau ciri SBI adalah:

a. Pengakuan internasional terhadap proses dan hasil atau keluaran pendidikan yang berkualitas dan teruji dalam berbagai aspek

b. Pengakuan internasional dalam hal standar pendidikan.

c. Bukti sertifikasi ISO dari negara OECD atau dari negara maju yang memiliki keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan.

Untuk menjadi SBI, sekolah reguler harus melalui tahapan SSN (Sekolah Standar Nasional) untuk SD dan SMP atau SKM (Sekolah Kategori Mandiri) untuk SMA dan SMK. Pemerintah Indonesia bertekad pada 2010 memiliki 112 SBI yang tersebar pada setiap kabupaten/kota.

Terdapat empat model penyelenggaraan SBI, adalah:

1. Model Terpadu-Satu Sistem, atau Satu Atap-Satu Sistem;

2. Model Terpisah-Satu Sistem, atau Tidak Satu Atap-Satu Sistem;

3. Model Terpisah-Beda Sistem, atau Tidak Satu Atap-Beda Sistem;

4. Model Entry-Exit, atau Keluar-Masuk.

Daftar Pustaka

Departemen Pendidikan Nasional. 2009. Panduan Penyelenggaraan Program Rintisan

SMA Bertaraf Internasional. Jakarta: Ditjen Dikdasmen, Dit Pembinaan SMA

UUD 1945.

UU nomer 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

UU nomer 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025.

UU nomer 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional.

UU nomer 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

UU nomer 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

UU nomer 14/2005 tentang Guru dan Dosen.

.PP nomer 19/2005 tentang Stándar Nasional Pendidikan.

PP nomer 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

PP nomer 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan.

PP nomer 74/2008 tentang Guru.

PP nomer 41/2009 tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen.

Permendiknas nomer 6/2007 sebagai penyempurnaan Permendiknas nomer 24/2006 tentang Pelaksanaan Permendiknas nomer 22 dan 23 tahun 2006

Permendiknas nomer 12/2007 tentang Stándar Pengawasan Sekolah-Masdrasah.

Permendiknas nomer 13/2007 tentang Standar Kepala Sekolah-Madrasah

Permendiknas nomer 16/2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.

Permendiknas nomer 18/2007 tentang Sertifikasi Bagi Guru dalam Jabatan.

Permendiknas nomer 19/2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.

Permendiknas nomer 20/2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan.

Permendiknas nomer 24/2007 tentang Standar Sarana Prasarana Sekolah SD-MI, SMP-MTs, SMA-MA.

Permendiknas nomer 41/2007 tentang Standar Proses Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.

Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional tahun 2005-2009.


Biodata Penulis

Drs. Tawil M.Pd di lahirkan di Sragen 08 Januari 1957 adalah Lektor Kepala dosen Kopertis Wilayah VI Jateng dpk pada Universitas Muhammadiyah Magelang. Lulus Sarjana Pendidikan UNS 1980, lulus Magister Pendidikan UNY 2006, dan kini studi S3 Unnes. Saat ini (2007-2012) sebagai Ketua Bidang Pembinaan Karir ISPI (Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia) Pengurus Daerah Jateng, juga Ketua Bidang Litbang Dewan Pendidikan Kota Magelang.